TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 219-225

By | 06/07/2015

Tafsir Al Qur’an Surat Baqarah Ayat 219, 220, 221, 222, 223, 224, Dan 225.
Silahkan baca tulisan sebelumnya disini.

Ayat 219-220: Hukum-hukum tentang khamr dan judi, infak dan bermu’amalah dengan anak yatim

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩) فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٠

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 219-220

219.[1] Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[2] dan judi[3]. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia[4]. Tetapi dosa[5] keduanya lebih besar[6] daripada manfaatnya”[7]. Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang (harus) mereka infakkan[8]. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan[9].” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,

220. tentang dunia dan akhirat[10]. Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim[11]. Katakalah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik[12]!” dan jika kamu bergaul dengan mereka[13], maka mereka adalah saudaramu, Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang mengadakan perbaikan[14]. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[15].

Ayat 221: Menerangkan tentang pernikahan dengan orang-orang musyrik

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 221

221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman[16]. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, meskipun Dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)[17] sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka[18], sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran[19].

Ayat 222-223: Hukum-hukum yang terkait dengan haidh

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢) نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (٢٢٣

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 222-223

222. [20] Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh adalah suatu kotoran”. Oleh karena itu, jauhilah[21] istri pada waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci[22]. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu[23]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betobat dan menyukai orang yang menyucikan diri[24].

223.[25] Istri-istrimu adalah ladang bagimu[26], maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja yang kamu sukai[27]. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu[28]. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira[29] orang-orang yang beriman.

Ayat 224-225: Menerangkan tentang hukum-hukum yang terkait dengan sumpah

وَلا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٤) لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (٢٢٥

224. Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan perdamaian di antara manusia[30]. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

225.[31] Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja[32], tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu[33]. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[34].


[1] Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin Syurahbil Abu Maisarah dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Ketika turun ayat tentang pengharaman khamr, Umar berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memuaskan,” maka turunlah ayat yang berada di surat Al Baqarah ini, “Yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri, qul fiihimaa itsmun kabiir“, maka Umar pun dipanggil dan dibacakan keadanya ayat ini. Umar berkata lagi, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memuaskan,” maka turunlah ayat yang disebutkan dalam surat An Nisaa’, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa.” Ketika itu, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila shalat hendak dilaksanakan, ia menyerukan, “Orang yang mabuk janganlah mendekati shalat.” Maka Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Umar berkata lagi, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memuaskan,” maka turunlah ayat yang disebutkan dalam surat Al Maa’idah, lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Ketika telah sampai pada ayat, “Fa hal antum muntahuun“, maka Umar berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.”

Abu Zur’ah berkata, “Amr bin Syurahbil tidak mendengar hadits dari Umar…dst.” Namun Bukhari mengatakan, bahwa ‘Amr bin Syurahbil Abu Maisarah Al Kufiy mendengar hadits dari Umar dan Ibnu Mas’ud. Pengarang Al Jarh wa Ta’dil (6/237) juga berpendapat bahwa ‘Amr bin Syurahbil mendengar hadits Umar dan Ibnu Mas’ud, oleh karenanya yang menetapkan bahwa ‘Amr bin Syurahbil mendengar hadits dari Umar dan Ibnu Mas’ud lebih didahulukan.

[2] Yakni mengkonsumsi khamr (segala makanan dan minuman yang memabukkan atau menghilangkan akal), menjual dan membelinya.

[3] Pekerjaan haram untuk menghasilkan uang dengan cara taruhan; tanpa bekerja.

[4] Dalam khamr seseorang merasakan kenikmatan dan kesenangan, sedangkan dalam judi seseorang memperoleh harta tanpa bekerja keras. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan nabinya untuk menerangkan manfaat dan madharat khamr danjudi sebagai pengantar terhadap larangan yang akan datang dan agar mereka siap meninggalkannya.

[5] Yakni mafsadat atau bahaya yang ditimbulkan dari keduanya lebih besar daripada manfaatnya.

[6] Karena khmar dan judi menghilangkan akal dan menghilangkan harta, menghalangi manusia dari dzikrullah, menghalangi dari shalat, menimbulkan permusuhan dan kebencian. Ayat ini merupakan tahapan pertama pelarangan khamr.

[7] Larangan khamr di ayat ini masih belum tegas, sehingga ketika itu masih ada yang meminumnya, sedangkan sebagian lagi tidak, sampai turun ayat di surat Al Maa’idah yang dengan tegas melarangnya. Seperti inilah tasyri’ (penetapan hukum) dalam Islam, yakni adanya tadarruj (tahapan) agar masyarakat siap.

[8] Yakni berapa ukuran seseorang perlu bersedekah dan bertabarrtu’ (memberikan santunan sunat).

[9] Oleh karena itu, kita jangan mengeluarkan harta ketika diri kita butuh terhadapnya, misalnya ketika kita bersedekah, maka kita akan kelaparan.

[10] Dengan begitu, kita memiliki kecakapan dalam menjalani hidup di dunia dan mengetahui hakikat hidup hidup di dunia, dan kita pun mengenal tentang kehidupan akhirat, di mana ia merupakan kehidupan yang kekal dan tempat pembalasan sehingga kita lebih mengutamakannya.

[11] Yakni bagaimana seharusnya sikap kamu terhadap mereka dan harta mereka. Ketika turun ayat ancaman memakan harta anak yatim secara zalim, yaitu pada surat An Nisaa’: 10, maka kaum muslimin memisahkan makanan mereka dengan makanan anak yatim karena khawatir memakan harta anak yatim, sampai dalam hal seperti ini, yakni dalam hal yang biasanya harta anak yatim bercampur dengan harta mereka, mereka pun bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah tersebut, maka turunlah ayat di atas menerangkan bahwa tujuan utamanya adalah memperbaiki harta anak yatim, memelihara dan mengembangkannya dan bahwa mencampurkan harta mereka dengan harta anak yatim adalah boleh selama tidak memadharatkan anak yatim, karena mereka adalah saudara kita, di mana saudara biasanya mencampurkan harta dengan saudaranya. Oleh karena itu, yang perlu dijaga adalah niat dan amal, barang siapa berniat baik dan bermaksud memperbaiki harta anak yatim serta tidak berharap apa-apa terhadap hartanya, maka jika terjadi sedikit percampuran tanpa disengaja, ia tidaklah berdosa. Sebaliknya, barang siapa yang berniat buruk, missalnya percampuran yang dilakukannya agar dapat memakan harta anak yatim, maka seperti itulah yang berdosa, sebagaimana ka’idah “Al Wasaa’il lahaa ahkaamul maqaashid” (wasilah tergantung tujuan). Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya mencampurkan harta kita dengan anak yatim ketika makan, minum, mengadakan ‘akad dsb. Hal ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[12] Dalam mengurus anak yatim prinsip kita berdasarkan ayat ini adalah “melakukan yang terbaik atau yang lebih bermaslahat bagi mereka”

[13] Ada yang mengartikan “jika kamu mencampurkan nafkah belanja kamu dengan nafkah belanja mereka”, maka mereka (anak yatim) tersebut adalah saudara kita, yakni tidak mengapa karena mereka adalah saudara kita, di mana saudara itu biasanya mencampurkan harta dengan saudaranya.

[14] Orang yang mengadakan kerusakan adalah orang yang menyia-nyiakan harta anak yatim ketika dirinya diserahi untuk mengurus harta mereka, sedangkan orang yang mengadakan kebaikan adalah orang yang mengurus harta mereka dengan kepengurusan yang bermaslahat bagi mereka.

[15] Allah memiliki kekuatan yang sempurna dan kekuasaan terhadap segala sesuatu, namun Dia Maha Bijaksana, yakni tidak bertindak kecuali sesuai hikmah-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, Dia tidaklah menciptakan sesuatu main-main, dan tidaklah menetapkan syari’at yang kosong dari hikmah. Dia tidaklah memerintah kecuali jika di sana terdapat maslahat yang murni atau lebih besar maslahatnya, dan tidaklah melarang kecuali karena di dalamnya terdapat mafsadat murni atau lebih besar mafsadatnya.

[16] Yakni sampai mereka masuk Islam, ayat ini ditakhshis dengan ayat yang membolehkan menikahi wanita ahlul kitab.

[17] Ayat ini adalah umum tidak ada pentakhshisnya.

[18] Yakni orang-orang musyrik mengajak ke neraka. Inilah hikmah haramnya seorang muslim atau muslimah menikahi orang-orang musyrik.

[19] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan hukum-hukum-Nya kepada manusia agar mereka dapat mengingat apa yang sebelumnya mereka lupakan, mengetahui apa yang ssebelumnya mereka tidak ketahui dan agar mengerjakan apa yang sebelumnya mereka sia-siakan.

[20] Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi apabila istri mereka haidh, mereka tidak makan bersama istrinya dan tidak bergaul dengannya. Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat, “Wayas-aluunaka ‘anil mahiidh, qul huwa adzan fa’tazilun nisaa’ fil mahiidh“, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuatlah apa saja selain jima’.” Kemudian berita itu sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu mereka berkata, “Apa yang diinginkan orang ini (yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika meninggalkan salah satu kebiasaan kita, lantas kemudian menyelisihi.” Maka Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr datang (kepada Rasulullah) dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata begini dan begitu. Oleh karena itu, kami tidak bergaul dengan mereka (para istri).” Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah (marah) sehingga kami mengira bahwa Beliau akan marah kepada keduanya, maka keduanya keluar, lalu ketika keluar tiba-tiba ada hadiah susu yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengirimkan seseorang untuk mencari mereka berdua (untuk memberikan minuman), maka mereka pun mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah kepada mereka berdua.

[21] Maksudnya jangan bercampur dengan wanita di waktu haidh, adapun selain jima’, maka bersenang-senang dengan istri di waktu haidh diperbolehkan.

[22] Maksudnya sesudah mandi. Ada pula yang menafsirkan sesudah darah berhenti keluar.

[23] Yaitu di qubul, bukan di dubur.

[24] Baik dari hadats matupun dari najis. Dalam ayat ini terdapat dalil disyari’atkan bersuci secara mutlak, karena Allah menyukai orang yang suci. Oleh karena itu, suci merupakan syarat sahnya shalat dan thawaf . Termasuk suci pula adalah suci maknawi, dalam arti suci dari akhlak yang buruk, sifat yang jelek dan perbuatan yang hina.

[25] Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ia berkata, “Orang-orang Yahudi mengatakan, bahwa jika seseorang menjima’i istrinya dari belakang, maka anaknya akan lahir dalam keadaan matanya juling, maka turunlah ayat, “Nisaa’ukum hartsul lakum fa’tuu hartsakum annaa syi’tum.”

[26] Yakni tempat kamu menaruh benih agar dapat membuahkan anak dengan kehendak Allah.

[27] Dengan tetap di qubul bagaimana pun caranya. Dalam ayat ini terdapat dalil haramnya menjima’i istri di dubur, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak membolehkan mendatangi wanita kecuali di tempat yang bisa membuahkan anak.

[28] Yakni siapkanlah untuk dirimu amal shalih, termasuk di dalamnya adalah menjima’i istri dengan niat ibadah dan memperoleh pahala dan dengan berharap memperoleh keturunan yang bermanfaat.

[29] Tidak disebutkan apa kabar gembiranya untuk menunjukkan keumuman, yakni kaum mukmin berhak mendapatkan kabar gembira di dunia dan di akhirat. Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin, dan bahwa Allah mencintai orang-orang yang mukmin dan mencintai hal yang menggembirakan mereka. Di ayat ini terdapat anjuran memberikan semangat kepada kaum mukmin dengan balasan yang akan diberikan Allah kepada mereka baik di dunia maupun akhirat.

[30] Maksudnya: melarang bersumpah dengan mempergunakan nama Allah untuk tidak mengerjakan yang baik, seperti: “demi Allah, saya tidak akan membantu anak yatim“, tetapi apabila sumpah itu telah diucapkan, maka harus dilanggar dengan membayar kafarat. Dari ayat ini, keluar ka’idah fiqh yang masyhur, yaitu “Idzaa tazaahamatil mashaalih quddima ahammuhaa” (apabila dua maslahat berbenturan, maka didahulukan yang terpenting).

[31] Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “(Ayat ini ) turun berkenaan dengan kata-kata, “Tidak. Demi Allah!”, “Ya. Demi Allah.”

[32] Seperti ucapan yang biasa keluar dari lisan tanpa disengaja dan tanpa diusahakan oleh hati, “Ya, demi Allah”, “Tidak, demi Allah” dsb. atau pada sumpah terhadap masalah yang lalu karena dikiranya benar. Sumpah seperti ini tidaklah berdosa dan tidak perlu membayar kaffarat.

[33] Yakni disengaja. Dalam ayat ini terdapat dalil perlu adanya qasd (niat) di hati dalam mengucapkan, sebagaimana niat juga harus ada dalam perbuatan.

[34] Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa.

Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.